Arsip | Adat Bahau RSS feed for this section

ADAT DAN ADAT KEMATIAN BAHAU BUSANG

2 Feb

Suatu peristiwa yang dialami oleh setiap manusia dalam daur kehidupan adalah akhir dari kehidupan di dunia ini yaitu kematian. Dalam budaya dan kepercayaan etnik Bahau kematian adalah sebagai suatu proses awal dari perjalanan roh orang yang meninggal menuju tempat kediaman baka yang di sebut “Telaang Julaan”. Dalam kepercayaan etnik Bahau bahwa orang yang meninggal adalah orang yang memenuhi panggilan dan menghadap “Taman Tingai” yaitu yang diyakini sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara teoritis orang yang disebut mati adalah orang yang telah menghembuskan nafas terakhir disertai dengan berhentinya aktifitas fungsi-fungsi otak dan fungsi-fungsi  organ tubuh lainnya. Dengan demikian berakhirlah kehidupan fisikl seorang manusia di dunia ini. Namun dalam budaya dan kepercayaan etnik Bahau kematian bukanlah akhir dari segalanya, masih ada suatu kehidupan lain lagi yang akan dialami yaitu kehidupan dalam alam roh. Karena itu jika ada warga yang meninggal, perlu dilaksanakan upacara adat kematiannya. Agar kita dapat mencermati adat yang berhubungan dengan kematian, berikut ini kami diskripsikan adat kematian yang dilaksanakan oleh Bahau Busang dan Bahau Saaq:

1.   Adat Kematian dalam Tradisi Busang

Orang Busang percaya bahwa manusia memiliki roh selain raga yang dapat dilihat secara nyata. Roh atau arwah orang mati harus diantarkan agar ia mencapai tempat kediaman abadiannya. Pengantaran arwah  orang mati berlangsung dalam rangkaian upacara kematian sejak hari pertama seseorang meninggal. Orang yang memandu arwah atau roh  orang mati dalam perjalanannya hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya disebud Dayuung. Berikut ini kita uraikan tentang apa yang diperagakan Dayuung dalam Upacara Kematian seorang warga Busang dan perjalanan mengantar roh hingga tiba di Telaang Julaan.

2. Pelekaq To’

Upacara hari ketiga untuk orang mati disebut Pelekaq To’. Pelekaq to’ adalah memberangkatkan atau melepaskan perjalanan roh orang mati. Sebelum meninggalkan rumah duka dan keluarga yang masih hidup, Dayuung memperagakan membagi-bagi rumah dan segala isinya untuk to’ orang yang mati. Semua yang ada dibagi seperti pakaian, perabot dapur, peralatan kerja, peralatan berburu dan juga rumah yang ditempati dibagi untuk dibawa to’ yang akan berangkat. Tentu saja pembagian itu hanya memperagakan  dengan mengandaikan saja kegiatan membagikan, dan juga ada beberapa jenis peralatan hidup lainnya yang digantung pada Nyung Juq, ( empat batang  bambu didirikan dekat peti mati atau lungun). Semua barang-barang yang yang diletakkan dan digantung di Nyung Juq itu seperti parang, perisai, seraung, tusukan pembuat tikar termasuk macam-macam makanan, sebagai bekal to’ dan mempunyai arti dalam perjalanan menuju Telaang Julaan. Setelah dayuung menari-nari keliling Nyung Juq, selanjutnya mulai melantunkan maraaq yaitu narasi perjalanan yang akan ditempuh bersama roh orang mati atau to’ menuju ke Telaang Julaan.

Dikisahkan perjalanan mulai meninggalkan rumah dan kaum kerabat keluarga menuju tepian sungai, dimana telah dipersiapkan perahu yang akan digunakan untuk perjalanan. Semua barang-barang yang dipersiapkan digantung pada Nyung Juq dibawa juga masuk dalam pera. Jika yang meninggal itu adalah seorang warga kampung di hulu riam, misalnya Kampung Lung Lunuk, maka perjalanan mulai dari situ milir dengan perahu. Semua kampung, teluk dan muara sungai yang dilewati dalam perjalanan disebutkan oleh Dayuung. Persinggahan pertama dalam perjalanan itu adalah di Batoq Mate di hilirnya Lirung Melaham. Di sana ada laran yaitu kayu tanda persinggahan para arwah. Dari situ perjalanan dilanjutkan lewat darat menyusuri bukit Tukung Ilang lalu menuju sungai Kasau. Di sungai Kasau telah disiapkan perahu untuk mereka. Dari sana mereka  meneruskan perjalanan mudik lalu singgah di Lejo Sunghee, Totang Nihang, Batu Betuheq, yaitu tempat persinggahan Tagah Beruan. Selanjutnya perjalanan mendaki sampai di perbatasan dengan Kalimantan Barat, lalu menyimpang ke kiri menuju Sungai Mehende. Ketika perjalanan melewati teluk Mehende banyak ancaman terhadap arwah yang diantar oleh Dayuung yaitu adanya ikan Dungan raksasa yang siap menyambar dan  menerkam. Untuk mengelabui ikan itu mereka membuang telur dengan maksud agar ia memakannya dan bersamaan dengan itu rombongan Dayuung bersama arwah menyeberang lalu naik ke darat. Perjalanan masih diteruskan lagi hingga melewati pohon Nyiwung besar (sejenis pohon kelapa hutan yang berduri tajam). Setiap saat ada arwah yang melewati tempat itu,  pohon Nyiwung itu menjatuhkan pelepahnya yang berduri. Agar arwah dan Dayuung tidak terkena jatuhan pelepah Nyiwung tadi maka Dayuung menutup kepala dengan perisai. Itulah gunanya perisai yang dipersiapkan dalam upacara kematian. Jika yang meninggal itu perempuan, maka mereka menutup kepala memakai seraung yang dipasang Hulo (semacam peniti besar) agar terlindung dari kejatuhan pelepah Nyiwung berduri. Stelah itu arwah melewati rumpun Bambu Petung yang besar dan selalu melepaskan miangnya. Agar arwah tidak kelilipan (pelem), maka perisai atau seraung digunakan lagi sebagai pelindung mata. Setelah itu arwah tiba di batang Pelengguaang tempat penyeberangan. Batang itu selalu berguling-guling jika diinjak dan dilewati. Agar batang Pelengguang tidak berguling dan arwah dapat menyeberang melewati batang  itu, maka arwah  harus menancapkan tombaknya lalu menyeberang. Jika yang meninggal itu perempuan maka arwah harus menancapkan Tuil (tusukan untuk membuat tikar) agar batang Pelengguaang itu stabil lalu menyeberang. Perjalanan arwah diteruskan lagi lalu sampai di Teliq Hado (pancuran pemandian to’).     Sesampai di sini, arwah harus mandi dengan menceburkan diri ke dalam air (biha). Setelah mandi arwah harus melepaskan dan meninggalkan semua pakaian yang dipakainya dan menggatinya dengan pakaian yang disiapkan  sebagai bekal. Mandi dan melepaskan pakaian bermakna agar to’ membersHikan dirinya, menghilangkan segala ingatan dan kenangannya terhadap keluarga atau kerabat yang masih hidup di dunia ini. Dengan melupakan  ingatan akan kerabat keluarga yang masih hidup maka tidak ada yang menggangu perjalanan arwah menuju Telang Julaan.

Dari Teliq Hado perjalanan arwah dipandu lagi oleh Dayuung hingga sampai di seberang sebelah kanan Sungai Mehende yaitu Ujat Tukung Pilung.  Tempat para arwah berada di sebelah kiri Sungai Mehende. Di sana terdapat perkampungan arwah dari orang-orang yang telah mati. Tempat itu adalah bagian dari wilayah yang di namakan Telaang Julaan, yaitu tempat tinggal abadi para arwah dalam kepercayaan etnik Bahau. Telaang Julan itu di yakini terletak di daerah Apo Kayan. Di Tukung Pilung itulah Dayuung memanggil kerabat keluarga si arwah yang yang telah meninggal  agar mereka menyemput roh arwah  yang diantarnya. Sedangkan Dayuung sendiri tidak boleh menyeberang apa lagi sampai ke tempat tinggal para arwah, karena jika Dayuung sampai di sana maka ia tak dapat kembali lagi kedunia orang hidup. Tentu saja jika Dayuung yang sampai di sana adalah dayuung yang dalam keadaan rohnya atau jiwanya saja.

Setelah arwah kerabat yang menjemput datang, mereka lalu menanyakan sebab-musabab apa yang membuat arwah baru itu meninggal. Pertanyaan mereka itu harus dijawab oleh Dayuung dengan menyatakan sebab-sebab meninggalnya si arwah yang diantarnya. Jika yang meninggal itu disebabkan karena ia melanggar tabu atau pantangan-pantangan atau aturan-aturan lalu mendatangkan sial dan kematian baginya, maka roh atau arwah kerabat yang menjemput lalu memberikan peringatan-peringatan. Peringatan dan nasihat itulah yang akan dibawa oleh Dayuung pulang dan selanjutnya akan disampaikan untuk kerabat keluarga yang masih hidup di dunia ini. Dikatakan oleh mereka bahwa jika manusia yang masih hidup di dunia ini melanggar segala tabu atau pantangan dan aturan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu, maka ia akan mengalami sial dan kematian. Oleh karena itu sikap hormat dan ketaatan dalam menjalankan hidup sesuai adat dan tradisi nenek moyang perlu dijaga. Dengan demikian manusia mengalami keharmonisan hubungan dengan alam nyata dan dunia roh.

Setelah Dayuung menerangkan perihal sebab kematian to’ yang diantarnya, maka penjemput to’ orang yang mati itu lalu membawanya  menyeberang menuju Ujat Tukung Pilung yaitu suatu perkampungan atau lamin kediaman para arwah di Telaang Julaan. Jika yang mati itu adalah keturunan Hipui, maka to’nya akan  dijemput dan dibawa oleh to’ Hipui pula menuju ke Lamin kediaman mereka, begitu pula jika yang meninggal itu warga Panyin. Di sanalah roh orang mati yang disebut to’ tinggal selamanya dengan menjalani kehidupan laksana ia masih di dunia ini.

Setelah to’  yang diantarnya menyeberang menuju Ujat Tukung Pilung di Telaang julaan, maka Dayuung pulang kembali ke dunia nyata ini hingga tiba di rumah sanak keluarga yang meninggal tadi. Setibanya di rumah, Dayuung menyampaikan pesan dan nasihat dari leluhur yang telah meninggal kepada warga yang masih hidup sebagaimana yang dikatakan mereka.

Pada hari kesepuluh dihitung sejak penguburan, diadakan adat Mebet Lumu, yaitu upacara adat membuang pantangan adat kematian. Dalam upacara ini dilakukan melas dan Miteng Nyung (kayu gelaq dibuat gambar parang yang akan ditimpas sebanyak 4 buah). Di pating itu ditaruh juga beru, lavuung, kasung dan doh. Setelah ditimpas, dilihat jika potongannya telungkup, maka menandakan akan ada peristiwa kematian lagi, jika ada dua yang telentang maka pertanda baik.

Demikianlah rangkaian adat kematian Bahau Busang yang dahulu sering dilaksanakan, namun sekarang sudah mulai berkurang seiring perkembangan zaman dan pengaruh dari berbagai modernisasi.

3. Pelanggaran adat kematian

Pelanggaran adat kematian misalnya ada orang yang naik pondok sedang diketahuinya bahwa pondok itu adalah milik dari kerabat atau keluarga yang masih  berpantang karena ada kematian keluarganya.  Orang yang melanggar adat kematian dapat dikenai denda berupa mengganti biaya upacara hari kesepuluh sebesar dua kali lipat. Pelanggaran dan denda itu adalah buleng yaitu karena melanggar adat kematian.

Beberapa Kasus Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Dayak Bahau

27 Mar

Kasus Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Dayak Bahau
Salah satu tujuan suatu lembaga perkawinan adalah membangun kehidupan bersama antara suami dan isteri atas dasar ikatan cinta kasih dalam misi melanjutkan generasi umat manusia di dunia ini. Kesetian suami dan isteri sangat diuji dalam mengarungi dunia perkawinan yang secara sengaja telah dipilih bersama. Dalam budaya etnik Bahau, perkawinan dipandang sebagai suatu yang sakral dan bukan saja dipandang sebagai urusan pribadi pasangan suami isteri, malainkan juga memuat dimensi sosio-cultural. Oleh karena itu, pasangan suami isteri seyogyanya selalu dan harus membangun dan mempertahankan keutuhan kehidupan keluarga. Namun dalam kenyataan, kita kenal beberapa kasus perkawinan, yang tentu saja merupakan suatu pelanggaran perkawinan. Kasus-kasus yang terjadi sehubungan dengan perkawinan adalah:
2.1. Perselingkuhan (petuyang)
Petuyang, dalam pengertian adat masyarakat Bahau Kecamatan Long Hubung dan Kecamatan Laham adalah perselingkuhan. Macam-macam pelanggaran adat perkawinan yang termasuk petuyang adalah:
2.1.1. Seorang isteri atau suami yang sah, berselingkuh dengan suami atau isteri lain yang sah menurut hukum adat.
Ketentuan adat yang dikenakan terhadap pelaku pelanggaran di atas adalah:
Pertama, pihak suami (laki) harus membayar denda adat sebasar 10 buah antang, dan perempuan sebesar 7 buah antang, kepada pihak suami atau isteri yang sah.
Kedua, Jika yang telah melakukan perselingkuhan telah ada anak, maka harus diadakan acara Duwai sejumlah anak yang ada, dan jika laki yang berselingkuh dengan perempuan yang telah punya suami atau anak, maka harus diadakan acara Duwai untuk suami atau anak yang sah tadi.
Ada pun barang-barang yang dipakai dalam acara adat Duwai adalah:
Tabel 2 : Barang Adat Dawai
No. NAMA BARANG JUMLAH
1. Antang atau tajau 1 buah
2. Malaat (parang) 1 buah
3. Tepatung malaat 1 buah
4. Lekuq 1 buah
5. Ayam hitam 1 ekor
6. Kain putih 1 meter
7. Telur ayam 1 biji

2.1.2. Seorang perempuan dan laki hidup bersama dalam satu rumah sebagai suami isteri namun belum sah secara adat atau pun agama.
Pelanggaran semacam ini dalam bahasa Bahau disebut petuyaang ayaq. Terhadap pelanggaran ini, kepada pelaku dikenakan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, dibuat adat soot dan adat sahuq. Adat ini dilakukan sebelum kawin adat dilaksanakan.
Kedua, jika belum dilaksanakan kawin adat, maka keduanya setiap tahun harus membayar kaping umaq, untuk melas tanah sebelum membuka lahan ladang.
2.1.3. Anak tiri perempuan atau laki kawin dengan orang tua tiri
Terhadap kasus yang ketiga ini, ketentuan adat sama dengan ketentuan pada kasus kedua. Para pelanggar diwajibkan melaksanakan ketentuan berikut:
Pertama, membuat adat soot dan adat sahuq. Adat ini dilaksanakan sebelum perkawinan adat dilakukan.
Kedua, jika mereka belum melakanakan adat tersebut di atas, maka kepada mereka diwajibkan setiap tahunnya membayar kaping umaq, untuk melas tanah sebelum membuka lahan perladangan.
Ketiga, mereka juga harus membayar denda adat, dengan ketentuan, pihak laki 10 buah antang dan perempuan 7 buah antang. Denda tersebut dibayarkan kepada suami dan isteri yang sah .
Keempat, Jika suami dan isteri yang sah tadi mempunyai anak, maka terhadap mereka yang melakukan perselingkuhan tadi diwajibkan membuat acara Duwai sejumlah anak yang ada. Rincian tentang barang-barang yang dipakai dalam adat Duwai sama dengan ketentuan pada poin pelanggaran kedua di atas.
2.1.4. Anak tiri perempuan kawin dengan bapak tiri, atau anak tiri laki dengan ibu tiri.
Jika terjadi kasus di atas, maka ditangani sama dengan pada kasus nomor dua di atas.
Pertama, dibuat adat soot dan sahuq terlebih dahulu sebelum diadakan perkawinan adat.
Kedua, jika acara perkawinan adat belum dibuat, maka pelaku harus membayar kaping umaq untuk melas tanah setiap tahunnya, sebelum membuka lahan perladangan.
Ketiga, kepada mereka dikenai denda adat sebesar: 10 buah antang untuk laki dan 7 buah antang untuk perempuan. Denda tersebut dibayarkan kepada suami atau isteri yang sah.
Jika suami atau isteri yang sah tadi mempunyai anak, maka mereka yang petuyang harus melaksanakan adat Duwai untuk masing-masing anak.
2.1.5. Anak tiri kawin dengan anak tiri.
Dalam kasus ini yang dimaksud dengan anak tiri misalnya adalah, anak perempuan dari seorang ibu yang kawin dengan seorang bapak yang sebelumnya yang telah mempunyai anak laki. Kemudian anak laki dari seorang bapak tadi kawin dengan anak perempuan dari ibu yang dikawini bapaknya. Maka perkawinan tersebut dinamakan perkawinan antar kedua anak tiri. Perkawinan yang demikian itu adalah pelanggaran adat dalam etnik Bahau dan karenanya harus melaksanakan ketentuan hukum adat yang berlaku.
Ketentuan adatnya adalah: Terhadap pelanggar adat harus melaksanakan adat soot. Adat tersebut dilaksanakan sebelum kedua pelaku melangsungkan perkawinan adat secara resmi. Jika keduanya belum melaksanakan adat tersebut, maka diwajibkan harus membayar kaping umaq setiap tahunnya, sebelum membuka lahan perladangan.
2.1.6. Saudara dengan saudara.
Yang dimaksudkan saudara dengan petuyang antar saudara adalah, sama-sama saudara kandung melakukan perkawinan, atau saudara yang masih ada hubungan darah dekat dengan yang bersangkutan. Dalam adat etnik Bahau perkawinan semacam ini dilarang dan jika terjadi, mereka yang melakukannya harus melaksanakan ketentuan adat sebagai berikut:
Pertama, membuat adat soot dan adat sahuq. Adat tersebut dilaksanakan sebelum perkawinan adat dilangsungkan.
Kedua, membuat adat Abai.
Ketiga, Setiap tahun yang melakukan pelanggaran adat tersebut harus membayar kaping umaq untuk melas tanah, sebelum membuka lahan perladangan.
2.1.7. Bapak dengan anak kandung perempuan, atau ibu dengan anak kandung laki.
Yang dimaksudkan dalam kasus ini adalah, jika terjadi perkawinan antara bapak dengan anak kandung perempuan atau Ibu dengan anak kandung laki. Perkawinan tersebut sangat ditentang dan karenanya harus diproses baik secara hukum adat setempat maupun hukum pidana.
Atas pelanggaran tersebut, ketentuan adatnya adalah:
Pertama, Pelanggar harus membuat adat soot dan adat sahuq. Adat tersebut dilaksanakan sebelum kawin adat dilaksanakan.
Kedua, Diwajibkan membuat adat Abai.
Ketiga, Diproses secara hukum pidana.
2.1.8. Saudara angkat dengan saudara angkat.
Petuyang saudara angkat dengan saudara angkat adalah, petuyang yang dilakukan antar saudara yang saling mengangkat untuk dijadikan saudara. Jika terjadi demikian, maka adat menuntut mereka harus membuat adat Hawaq.
2.1.9. Anak angkat dengan bapak angkat, atau anak angkat dengan ibu angkat. Petuyang dengan cara demikian di atas dinilai melanggar hukum adat. Terhadap oknum yang melanggar tersebut dikenai sanksi adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku yaitu:
Pertama, Dibuat adat soot dan adat sahuq. Adat tersebut dilakukan sebelum melangsungkannya perkawinan adat.
Kedua, bila kedua adat tersebut belum dilakukan, maka pelaku harus membayar kaping umaq untuk melas tanah sebelum membuka lahan perladangan.
2.1.10. Seorang perempuan dihamili oleh seorang laki, tapi laki tersebut tidak mau mengawininya.
Jika terjadi kasus seperti di atas, pihak adat memutuskan:
Pertama, kedua pelaku harus dikawinkan secara adat.
Kedua, pelaku laki harus menanggung biaya kehidupan anak hingga anak yang bersangkutan mandiri.
Ketiga, jika laki yang menghamili tidak melaksanakan keputusan adat, maka kasus tersebut diproses secara pidana.
2.1.11. Seorang laki yang telah mempunyai isteri yang sah, menghamili isteri orang lain yang sah.
Terhadap kasus di atas, ketentuan adat mengharuskan:
Pertama, pelaku laki harus membuat acara untuk anak.
Kedua, pelaku diwajibkan untuk membuat adat petutau dengan tanda satu buah agong (gong), diberikan kepada suami perempuan yang dihamili.
Ketiga, si perempuan yang dihamili diwajibkan memberi satu antang kepada isteri pelaku yaitu laki yang menghamili.
Keempat, si laki diwajibkan harus menanggung biaya anak dari masa sejak kelahiran sampai si anak yang bersangkutan dapat mandiri.
2.1.12. Seorang perempuan dihamili oleh seorang laki, namun ia tidak mengawininya
Jika terjadi kasus seperti di atas, maka oleh pihak adat, diputuskan bahwa pelaku harus dikawinkan secara adat dengan perempuan yang dihamilinya. Biaya hidup anak harus ditanggung oleh sipelaku sampai anak tersebut bisa mandiri. Jika si pelaku tidak mau mengindahkan putusan adat, maka selanjutnya diproses secara hukum pidana.

PROSESI ADAT KELAHIRAN VERSI MASYARAKAT ADAT DAYAK BAHAU

13 Jul

Masa Kehamilan dan Melahirkan

Manusia, dalam pemahaman etnik Bahau, tidak  saja dimengerti sebagai manusia manakala sejak kelahirannya di dunia ini, melainkan juga sejak dari dalam kandungan ibunya  sudah menjadi manusia. Manusia juga dipandang sebagai mahluk yang istimewa dari  mahluk lain, karena mempunyai akal budi, perasaan dan hati nurani. Atas pengertian di atas itulah, maka setiap janin manusia yang sungguh pun masih dalam kandungan, dianggap mempunyai hak yang sama dengan manusia lainnya yang telah lahir. Oleh karena itu, terhadap janin manusia yang sungguh pun ia masih dalam kandungan ibunya, dibuat acara adat sesuai tradisi. Dalam tradisi Bahau Saaq, kita kenal ada beberapa tahapan upacara adat yang berkenaan dengan kehamilan dan kelahiran seorang anak yaitu:

Masa kehamilan

Selama masa kehamilan, seorang Ibu melaksanakan pantang dan demikian juga seorang  Bapak. Pantangan ini dilaksanakan oleh kedua orang tua sang calon bayi dengan maksud agar anak yang lahir kelak dalam keadaan sehat dan sempurna sebagai manusia. Pantang di sini berarti selama masa kehamilan, seorang ibu atau bapak tidak boleh melakukan pekerjaan tertentu yang bisa mengandung makna menggangu kelancaran proses melahirkan atau pun kesehatan sang bayi. Pantangan itu adalah sebagaimana berikut ini:

Pertama, pantangan Ibu: Tidak boleh duduk di depan pintu, dengan pengertian agar bayi yang akan lahir nanti tidak mendapat kesulitan melainkan lancar, tidak boleh membelah/memotong binatang, artinya agar bayi yang lahir nanti tidak sumbing atau cacat fisik lainnya.

Kedua, pantangan bapak: Tidak boleh menutup pinggir perahu (galak haruk), memaku perahu, memaku rumah, membelah kayu api yang sudah terbakar ujungnya, memukul kepala ikan. Pengertian pantangan ini pun dimasudkan agar sang bayi kelak lahir dengan lancar dan dalam keadaan sehat.

Dengan mencermati adat dan perlakuan dalam menjaga kesehatan dan keselamatan janin, kita dapat mengtahui bahwa etnik Bahau menjunjung tinggi hakekat dan nilai manusia sejak manusia itu masih dalam kandungan.

Kelahiran

Untuk membantu proses kelahiran seorang bayi, biasanya ditangani oleh bidan /dukun kampung. Jika seorang ibu hamil sudah tiba masanya untuk melahirkan, maka suaminya atau orang lain akan menjemput bidan kampung untuk membantu proses kelahiran sang bayi. Orang yang menjadi bidan kampung ini biasanya yang memiliki keahlian khusus walaupun ia tidak pernah mendapatkan pembinaan formal, namun karena pengalaman dan talentanya dapat dipercaya.

Setelah sang bayi lahir, ada beberapa tahapan perlakuan yang harus dilaksanakan oleh bidan maupun pihak orang tuanya. Tahapan itu meliputi masa sejak kelahiran sang bayi sampai masa menjelang menginjak dewasa. Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Taak Puhal, yaitu memotong tali pusat bayi oleh bidan kampung memakai sembilu (bilah bambu yang di tajamkan) dan diberi nama sementara.

2. Tegerang To’oh abeq (liyaq), adalah acara adat pemberian nama anak dengan mendirikan teloh (telur ayam), anak ayam, pisang ambon (du’un puteq uraan), satu ruas bambu, satu piring porselin dengan diiringi mantra adat/doa dalam bahasa Bahau. Jika telur yang didirikan dalam piring tidak rebah, maka nama yang disebutkan cocok sesuai dengan nama yang dipilih, dan jika telur ayam yang didirikan rebah, maka nama tersebut tidak cocok dan harus diganti dengan nama lain dengan mengulangi cara yang sama. Perbuatan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali jika pada pada kesempatan pertama dan kedua belum berhasil mendapatkan nama yang cocok. Selanjutnya telur dan anak ayam tadi dimasukkan ke dalam bambu, dimasak dan dimakan oleh orang tua bayi bersama orang yang hadir di situ (naruung).

3. Napoo tenan, yaitu acara adat untuk anak yang dilakukan di sungai. Dalam acara ini dipersembahkan sesaji untuk roh leluhur yang dipandu oleh Dayuung, kemudian dilanjutkan dengan memandikan anak di sungai serta diiringi mantra doa adat (maraaq).

4. Muhu Anak, adalah suatu acara adat yang dibuat untuk anak, yang mempunyai arti membuang sial (dawiiq) akibat perlakuan orang tuanya. Selama acara adat tersebut dilakukan, terus menerus diucapkan doa mantra adat (maraaq) oleh Dayuung.

5. Ku’an Anak, adalah memberikan sesuatu barang (barang bermakna) kepada anak, agar kelak mudah mendapatkan rejeki dan keberuntungan. Pemberian tersebut dengan cara, menyuapi anak dengan sebutir nasi diiringi mantra-mantra doa. Perlengkapan lain adalah, satu piring putih, satu sendok nasi, satu gelas, satu parang (ukul parang), dan mengambil tanah dengan jempol kaki untuk dioleskan pada dahi anak. Selanjutnya memberi minum anak. Adat ini pun dimaksudkan agar anak bertumbuh secara sehat.

6. Dangai Katuung Layaah, adalah suatu acara adat untuk memperkuatkan dan meneguhkan nama anak. Adat ini dibuat ketika anak berumur antara satu sampai dua tahun. Adapun barang barang yang perlu dipersiapkan dalam acara adat ini untuk anak perempuan masing-masing adalah:

Tabel 1 : Barang adat Dangai

UNTUK ANAK LAKI UNTUK ANAK PEREMPUAN
No. Nama barang Jumlah No. Nama barang Jumlah
1. Lavuung tap (topi manik) 1 buah 1. Katung wing 8 untai 1 buah
2. Parang hulu kayu lengkap 1 buah 2. Ta`ah tap lengkap 1 buah
3. Katung wing 8 untai 1 buah 3. Baju manik dan lavuung 1 pasang
4. Sunung 1 buah 4. Gigi harimau dan manik 1 pasang
5. Hong hulau 1 buah 5. Bulu burung Enggang 1 buah
6. Babi jantan 1 ekor 6. Manik/telebei 1 untai
7. Ayam 2 ekor 7. Awaq/taksa 1 buah
8. Babi jantan 1 ekor
9. Ayam 2 ekor

Dalam upacara tersebut di atas, dipergunakan juga perlengkapan lain yaitu: empat buah gong (aguung), sebuah mebang, sebuah tambur (tuvuung). Barang barang tersebut adalah alat musik yang dibunyikan dalam upacara dengan irama khas Dangai.

Hewan berupa babi dan ayam yang dipergunakan dalam upacara di atas, bermakna untuk mengetahui kelangsungan kehidupan anak, apakah kelak akan sukses dalam pertumbuhannya, mudah mendapatkan rejeki, atau mendapatkan kesulitan hidup. Kegiatan naruung juga mempunyai makna yang sama dengan makna di atas.

Kepada Dayuung pemandu pelaksana acara adat Dangai Katung Layah, diberikan: satu buah piring putih polos, sebuah parang biasa (tepatung malaat), selembar kain baju, satu buah mekau, sebuah gelang manik  (lekuq), dan uang sesuai dengan kemampuan penyelenggara adat.

7. Dangai Usaau Tukau/Dangai Ayaaq, adalah suatu acara adat yang dilakukan untuk anak yang sudah menginjak dewasa. Adat ini dilakukan sebagai pertanda bahwa anak yang bersangkutan telah beralih dari dunia remaja dan memasuki dunia orang dewasa. Perlengkapan-perlengkapan yang dipakai dalam upacara adat ini adalah:

Tabel 2 : Barang adat Dangai Ayaaq

Untuk laki Untuk perempuan
No Nama Barang Jumlah No. Nama barang Jumlah
1. Katung wing 2 X 8 1 untai 1. Katung wing 2 X 8 1 untai
2. Bah dan hiasan gigi harimau 1 lembar 2. Baju manik lenkap 1 lembar
3. Tabin 1 buah 3. Kalbee ipan kuleh 1 untai
4. Tenayung kuleh 1 buah 4. Lavuung sedon 1 buah
5. Parang hulu tulang 1 buah 5. Hiasan/teksa uang 1 buah
6. Kelebit 1 buah 6. Bulu burung Enggang 1 lembar
7. Serawuung manik 1 buah 7. Gigi harimau 1 buah
8. Bulu burung Enggang 1 lembar 8. Serawuung lengkap 1 buah
9. Antang 1 buah 9. Antang 1 buah
10. Babi jantan 1 ekor 10. Babi jantan 1 ekor
11. Ayam jantan 2 ekor 11. Ayam jantan 2 ekor
12. Goong (agong) 4 biah
13. Tuvuung 1 buah
14. Mebang 1 buah

Sistim Religi Masyarakat Adat Dayak Bahau

9 Jun

Dari manakah asal usul kata religi? Ada yang berpendapat bahwa kata religi berasal dari kata religere dan ada pula yang mengatakan dari kata religare. Religere berarti melakukan sesuatu dengan teliti secara berulangkali, sedangkan religare berarti menjalin atau bersatu padu.

Masalah yang timbul dalam usaha memberikan perumusan yang tepat kepada religi disebabkan oleh kenyataan bahwa semakin sederhana tingkat  kebudayaan suatu masyarakat, semakin tampak kecenderungan atau tendensi ke arah  kepercayaan kepada kekuatan gaib yang dianggap ada pada benda-benda atau barang-barang tertentu. Padahal kalau dianalisa secara rasional, benda-benda itu tidak ada sangkut pautnya dengan religi. Jadi “benda” itu “dibungkus” dengan “isi” tertentu, yakni kekuatan gaib.

Menurut A. Bertholet, manusia sadar bahwa di sekitarnya ada kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap juga mempengaruhi kehidupannya di lingkungan alam semesta ini. Kekuatan gaib itu kadangkala dianggap lebih unggul dari alam dan manusia, malah ditakuti sebab dapat membahayakan kehidupannya, sebab itu ditakuti dan dipuja, sedang disamping itu ada pula menurut mereka kekuatan gaib yang melindungi atau memelihara kelanggengan hidup.

Dilihat dari sudut obyektif, religi mencakup sejumlah kegiatan tertentu berupa alam persembahan kepada kekuatan gaib (das Ganz andere).  Itulah fenomena ekstrim dari religi. Sedangkan fenomena internnya bahwa religi dilihat dari sudut subyektif, adalah bagian dari pengalaman sanubari dari kehidupan jiwa dan alam gaib. Dilihat dari segi ini religi  merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara manusia dan alam gaib.

Sistem religi merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang berhubungan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan supranatural. Kepercayaan terhadap yang supranatural itu lahir dari kesadaran sanubari manusia yang diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas pemujaan. Misalnya, kepercayaan akan adanya kekuatan alam (dinamisme), kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang (animisme) yang  diwujudkan dalam upacara-upacara tradisional sebagai aktivitas pemujaan dan menjalin hubungan timbal balik dengan roh-roh tersebut. Alam gaib dianggap didiami kekuatan sakti, seperti dewa dewi yang baik dan yang jahat, seperti mahluk halus, roh, hantu dan sebagainya serta kekuatan lainnya yang dapat menyebabkan bencana. Alam gaib ini hanya dapat dihadapi dengan sikap hormat dan takut.

Dalam budaya etnik Bahau sistem religi ini dapat kita ketahui dengan adanya kepercayaan  kepada Tamai Tingai sesuatu yang Mahakuasa, Mahatahu. Yang Mahakuasa dan Mahatahu itu diyakini sebagai yang mengatur dan mengendalikan yang ada dalam dunia ini termasuk kehidupan manusia. Orang Bahau menamai yang Mahakuasa dan Mahatahu itu adalah Tamai Tingai dan ada juga yang menyebutnya Ame Tinge dan Unyang Tenangan. Ame Tinge dan Unyang Tenangan itu diyakini berperan dalam seluruh aspek kehidupan manusia misalnya, dalam perkawinan atau kehidupan berumah tangga. Dalam perkawinan adat, Kepala Adat meresmikan dan mengesahkan suatu perkawinan dengan kata-kata yang menyebutkan nama Ame Tinge dan Unyang Tenangan untuk merestui kedua mempelai yang melangsungkan perkawinan dan selanjutnya akan menjalani kehidupan berumah tangga. Ame Tinge berperan dalam melihat dan mengetahui perjalanan kehidupan suatu rumah  tangga, apakah dalam keadaan baik atau buruk. Apakah keluarga itu hidup dalam kejujuran dan kesetiaan satu sama lain? Apakah keluarga perlu diberi perawatan atau penyelamatan? Jika keluarga yang dimaksud membutuhkan campur tangan, maka  semua itu adalah tugas yang diperankan oleh Unyang Tenangan.

Selain contoh yang diutarakan di atas, kepercayaan akan adanya hal yang supernatural juga berhubungan dengan praktek kehidupan lainnya misalnya, saat memulai membuka ladang, menanam padi atau menugal dibuatkan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memohon dan menetralisir kekuatan gaib agar tidak menggangu aktifitas masyarakat.

Orang Bahau  Busang, percaya bahwa ada roh yang disebut Lengunan yaitu roh yang dipercayai sebagai Ular Sawa Raksasa yang berdiam dan menjaga di sekitar tangga dermaga kampung tepian sungai. Lengunan itu berfungsi sebagai penjaga yang siap menolak segala macam bentuk ancaman terhadap penduduk kampung, baik berupa penyakit maupun musuh yang tampak sebagai orang asing. Kemampuan protektif Lengunan itu misalnya diwujudkan dalam bentuk mendatangkan dan mengenakan kesialan atau musibah kepada orang asing yang dianggap musuh atau mengancam ketentraman warga kampung. Selain itu Lengunan juga menghindarkan penyakit yang akan mewabah pada warga kampung.

Atas keyakinan di atas, maka selayaknya jika ada tamu atau orang asing yang memasuki kampung diadakan acara Napoq yaitu Penyambutan Tamu di tangga dermaga kampung. Di sana dibuat umbul-umbul dan tali yang akan dipotong saat tamu saat menaiki tangga. Acara ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada Lengunan yaitu Roh Ular Sawa Raksasa bahwa tamu yang datang itu adalah bagian dari anggota masyarakat warga kampung itu juga. Dengan demikian bukan merupakan ancaman atau akan mendatangkan keburukan terhadap warga, melainkan sebagai warga yang membawa berita baik. Oleh karena itu kedatangannya di kampung yang bersangkutan tidak perlu dihalangi. Selain itu upacara ini bermakna sebagai perwujudan sikap hormat dan penghargaan kepada sang tamu dan dengan demikian bahwa ia diterima dalam komunitas warga Bahau setempat.

Orang Busang juga percaya bahwa ada roh yang disebut Jelivan yang mendiami tiang rumah dan menjaga sekitarnya. Jelivan ini berfungsi menjaga dan menguatkan tiang rumah agar tidak roboh walau diterpa apapun.

Orang Busang juga percaya bahwa ada roh yang disebut Belareq atau Hantu Guntur yang duduk di atas bubungan atap rumah penduduk. Belareq itu berfungsi untuk menjaga bubungan dan atap rumah agar tidak mudah runtuh atau roboh walaupun diterpa angin kencang dan hujan lebat. Selain itu Blareq ini juga berfungsi untuk mengamati atau mengawasi setiap kedatangan siapa pun sebagai orang asing yang mungkin merupakan ancaman terhadap penghuni rumah. Jika ada orang asing yang datang, maka Belareq akan memberitahukan kepada tuan rumah misalnya, dengan membuat bunyi hentakan pada atap rumah atau mimpi agar pemilik rumah terbangun bila sedang tidur malam hari.

Atas kepercayaan akan adanya tiga roh penjaga di atas maka setiap tamu yang datang harus diberitahukan kepada mereka melalui upacara penyambutan tamu. Dalam upacara tersebut disampaikan bahwa tamu yang datang itu adalah anggota keluarga dan warga kampung itu juga. Tamu yang datang misalnya, Camat, Bupati atau Gubernur serta rombongannya.

Dalam hubungan dengan kepercayaan akan adanya  kekuatan yang supernatural inilah maka dalam adat dan budaya etnik Bahau kita kenal banyak upacara-upacara religi, yang boleh jadi suatu upacara itu merupakan bentuk perwujudan sikap cinta dan hormat manusia kepada hal yang gaib demi terpeliharanya keharmonisan alam dan manusia.

Kosmologi Dalam Etnik Dayak Bahau

27 Apr

Orang  Bahau percaya bahwa benda-benda langit dan sistem tata surya ini diciptakan dan diatur oleh Yang Mahakuasa. Semua hasil ciptaan itu mempunyai artinya bagi dunia dan manusia. Benda-benda langit dapat menjadi petunjuk bagi manusia dalam segi-segi praksis kehidupan tertentu. Bulan dan bintang misalnya, memberi petunjuk dalam masa membuat ladang, membangun rumah, melaksanakan upacara perkawinan dan lain-lain.

Dalam budaya Bahau Saaq, dikenal adanya perhitungan bulan berdasarkan adat. Dalam masa daur atau rotasi perjalanan bulan diyakini ada masa-masa yang mendatangkan keuntungan atau menjadikan kesialan. Perhitungan keberuntungan dalam masa perjalanan bulan ini menentukan sikap seseorang atau kelompok terhadap suatu rencana atau pekerjaan.

Bagi masyarakat Bahau, yakin bahwa ada masa yang tepat untuk keberuntungan jika apa yang dilakukan bertepatan dengan malam dan hari bulan timbul di langit  yang baik. Pada waktu malam dan hari yang baik itulah mereka yang masih memegang keyakinan tradisional biasanya melakukan kegiatan seperti memulai membebas lahan ladang, melakukan perjalanan atau melaksanakan upacara perkawinan dan lain-lain.

Adapun perhitungan bulan berdasarkan adat Bahau adalah sebagai berikut:

Tabel 1 : Kalender Adat

No. NAMA BULAN MALAM TAMPAK DI LANGIT
1. Tubu Pu’un 1 Malam pertama bulan tampak
2. Tubu Pu’un 2 Malam kedua bulan tampak
3. Kelihif 3 Malam ketiga bulan tampak
4. Kelihif Pu’un 4 Malam keempat bulan tampak
5. Ipan Lejo 5 Malam kelima bulan tampak
6. Ipan Lejo Pu’un 6 Malam keenam bulan tampak
7. Nyinaaq Daaq 7 Malam ketujuh tampak
8. Mataan Daang 8 Malam kedelapan tampak
9. Kelepso Pu’un 9 Malam kesembilan tampak
10. Kelepso Pu’un 10 Malam kesepuluh tampak
11. Kelu’ung Payang 11 Malam kesebelas tampak
12. Kelu’un Payang 12 Malam kedua belas tampak
13. Beliling Jaya 13 Malam ketiga belas tampak
14. Beliling Jaya 14 Malam keempat belas tampak
15. Kamat 15 Malam kelima belas tampak
16. Beleliling Jaya Uliq 1 16 Malam keenam belas tampak
17. Beliling Jaya 17 Malam ketujuh belas tampak
18. Kelu’ung Payang 18 Malam kedelapan belas tampak
19. Kelu’ing Payang 19 Malam kesembilan belas tampak
20. Kelepso Uliq 20 Malam kedua puluh tampak
21. Kelepso Uliq 21 Malam kedua puluh satu tampak
22. Likur Uliq 22 Malam kedua puluh dua tampak
23. Likur Dang 23 Malam kedua puluh tiga tampak
24. Ipan Lejo 24 Malam kedua puluh empat tampak
25. Ipan Lejo Uliq 25 Malam kedua puluh lima tampak
26. Kelehife 26 Malam kedua puluh enam tampak
27. Kelehife 27 Malam kedua puluh tujuh tampak
28. Tubu Uliq 28 Malam kedua puluh delapan tampak
29. Tubu Uliq 29 Malam kedua puluh sembilan tampak
30. Tak tampak bulan di langit

Perhitungan bulan berdasarkan kalender adat etnik Bahau ini  dipakai dalam rangka memperhitungkan peluang keberhasilan dalam suatu kegiatan atau pekerjaan. Pada hari dan malam tertentu dalam rotasi peredaran bulan selama 30 hari diyakini ada hari dan malam keberuntungan misalnya, waktu membuka lahan ladang, menanam padi, membangun rumah dan melaksanakan upacara perkawinan.

Sumber : Buku Studi Tentang Adat Istiadat dan Hukum Adat Setempat, CERD-BAPEDA KUTAI BARAT (2008)