Suatu peristiwa yang dialami oleh setiap manusia dalam daur kehidupan adalah akhir dari kehidupan di dunia ini yaitu kematian. Dalam budaya dan kepercayaan etnik Bahau kematian adalah sebagai suatu proses awal dari perjalanan roh orang yang meninggal menuju tempat kediaman baka yang di sebut “Telaang Julaan”. Dalam kepercayaan etnik Bahau bahwa orang yang meninggal adalah orang yang memenuhi panggilan dan menghadap “Taman Tingai” yaitu yang diyakini sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara teoritis orang yang disebut mati adalah orang yang telah menghembuskan nafas terakhir disertai dengan berhentinya aktifitas fungsi-fungsi otak dan fungsi-fungsi organ tubuh lainnya. Dengan demikian berakhirlah kehidupan fisikl seorang manusia di dunia ini. Namun dalam budaya dan kepercayaan etnik Bahau kematian bukanlah akhir dari segalanya, masih ada suatu kehidupan lain lagi yang akan dialami yaitu kehidupan dalam alam roh. Karena itu jika ada warga yang meninggal, perlu dilaksanakan upacara adat kematiannya. Agar kita dapat mencermati adat yang berhubungan dengan kematian, berikut ini kami diskripsikan adat kematian yang dilaksanakan oleh Bahau Busang dan Bahau Saaq:
1. Adat Kematian dalam Tradisi Busang
Orang Busang percaya bahwa manusia memiliki roh selain raga yang dapat dilihat secara nyata. Roh atau arwah orang mati harus diantarkan agar ia mencapai tempat kediaman abadiannya. Pengantaran arwah orang mati berlangsung dalam rangkaian upacara kematian sejak hari pertama seseorang meninggal. Orang yang memandu arwah atau roh orang mati dalam perjalanannya hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya disebud Dayuung. Berikut ini kita uraikan tentang apa yang diperagakan Dayuung dalam Upacara Kematian seorang warga Busang dan perjalanan mengantar roh hingga tiba di Telaang Julaan.
2. Pelekaq To’
Upacara hari ketiga untuk orang mati disebut Pelekaq To’. Pelekaq to’ adalah memberangkatkan atau melepaskan perjalanan roh orang mati. Sebelum meninggalkan rumah duka dan keluarga yang masih hidup, Dayuung memperagakan membagi-bagi rumah dan segala isinya untuk to’ orang yang mati. Semua yang ada dibagi seperti pakaian, perabot dapur, peralatan kerja, peralatan berburu dan juga rumah yang ditempati dibagi untuk dibawa to’ yang akan berangkat. Tentu saja pembagian itu hanya memperagakan dengan mengandaikan saja kegiatan membagikan, dan juga ada beberapa jenis peralatan hidup lainnya yang digantung pada Nyung Juq, ( empat batang bambu didirikan dekat peti mati atau lungun). Semua barang-barang yang yang diletakkan dan digantung di Nyung Juq itu seperti parang, perisai, seraung, tusukan pembuat tikar termasuk macam-macam makanan, sebagai bekal to’ dan mempunyai arti dalam perjalanan menuju Telaang Julaan. Setelah dayuung menari-nari keliling Nyung Juq, selanjutnya mulai melantunkan maraaq yaitu narasi perjalanan yang akan ditempuh bersama roh orang mati atau to’ menuju ke Telaang Julaan.
Dikisahkan perjalanan mulai meninggalkan rumah dan kaum kerabat keluarga menuju tepian sungai, dimana telah dipersiapkan perahu yang akan digunakan untuk perjalanan. Semua barang-barang yang dipersiapkan digantung pada Nyung Juq dibawa juga masuk dalam pera. Jika yang meninggal itu adalah seorang warga kampung di hulu riam, misalnya Kampung Lung Lunuk, maka perjalanan mulai dari situ milir dengan perahu. Semua kampung, teluk dan muara sungai yang dilewati dalam perjalanan disebutkan oleh Dayuung. Persinggahan pertama dalam perjalanan itu adalah di Batoq Mate di hilirnya Lirung Melaham. Di sana ada laran yaitu kayu tanda persinggahan para arwah. Dari situ perjalanan dilanjutkan lewat darat menyusuri bukit Tukung Ilang lalu menuju sungai Kasau. Di sungai Kasau telah disiapkan perahu untuk mereka. Dari sana mereka meneruskan perjalanan mudik lalu singgah di Lejo Sunghee, Totang Nihang, Batu Betuheq, yaitu tempat persinggahan Tagah Beruan. Selanjutnya perjalanan mendaki sampai di perbatasan dengan Kalimantan Barat, lalu menyimpang ke kiri menuju Sungai Mehende. Ketika perjalanan melewati teluk Mehende banyak ancaman terhadap arwah yang diantar oleh Dayuung yaitu adanya ikan Dungan raksasa yang siap menyambar dan menerkam. Untuk mengelabui ikan itu mereka membuang telur dengan maksud agar ia memakannya dan bersamaan dengan itu rombongan Dayuung bersama arwah menyeberang lalu naik ke darat. Perjalanan masih diteruskan lagi hingga melewati pohon Nyiwung besar (sejenis pohon kelapa hutan yang berduri tajam). Setiap saat ada arwah yang melewati tempat itu, pohon Nyiwung itu menjatuhkan pelepahnya yang berduri. Agar arwah dan Dayuung tidak terkena jatuhan pelepah Nyiwung tadi maka Dayuung menutup kepala dengan perisai. Itulah gunanya perisai yang dipersiapkan dalam upacara kematian. Jika yang meninggal itu perempuan, maka mereka menutup kepala memakai seraung yang dipasang Hulo (semacam peniti besar) agar terlindung dari kejatuhan pelepah Nyiwung berduri. Stelah itu arwah melewati rumpun Bambu Petung yang besar dan selalu melepaskan miangnya. Agar arwah tidak kelilipan (pelem), maka perisai atau seraung digunakan lagi sebagai pelindung mata. Setelah itu arwah tiba di batang Pelengguaang tempat penyeberangan. Batang itu selalu berguling-guling jika diinjak dan dilewati. Agar batang Pelengguang tidak berguling dan arwah dapat menyeberang melewati batang itu, maka arwah harus menancapkan tombaknya lalu menyeberang. Jika yang meninggal itu perempuan maka arwah harus menancapkan Tuil (tusukan untuk membuat tikar) agar batang Pelengguaang itu stabil lalu menyeberang. Perjalanan arwah diteruskan lagi lalu sampai di Teliq Hado (pancuran pemandian to’). Sesampai di sini, arwah harus mandi dengan menceburkan diri ke dalam air (biha). Setelah mandi arwah harus melepaskan dan meninggalkan semua pakaian yang dipakainya dan menggatinya dengan pakaian yang disiapkan sebagai bekal. Mandi dan melepaskan pakaian bermakna agar to’ membersHikan dirinya, menghilangkan segala ingatan dan kenangannya terhadap keluarga atau kerabat yang masih hidup di dunia ini. Dengan melupakan ingatan akan kerabat keluarga yang masih hidup maka tidak ada yang menggangu perjalanan arwah menuju Telang Julaan.
Dari Teliq Hado perjalanan arwah dipandu lagi oleh Dayuung hingga sampai di seberang sebelah kanan Sungai Mehende yaitu Ujat Tukung Pilung. Tempat para arwah berada di sebelah kiri Sungai Mehende. Di sana terdapat perkampungan arwah dari orang-orang yang telah mati. Tempat itu adalah bagian dari wilayah yang di namakan Telaang Julaan, yaitu tempat tinggal abadi para arwah dalam kepercayaan etnik Bahau. Telaang Julan itu di yakini terletak di daerah Apo Kayan. Di Tukung Pilung itulah Dayuung memanggil kerabat keluarga si arwah yang yang telah meninggal agar mereka menyemput roh arwah yang diantarnya. Sedangkan Dayuung sendiri tidak boleh menyeberang apa lagi sampai ke tempat tinggal para arwah, karena jika Dayuung sampai di sana maka ia tak dapat kembali lagi kedunia orang hidup. Tentu saja jika Dayuung yang sampai di sana adalah dayuung yang dalam keadaan rohnya atau jiwanya saja.
Setelah arwah kerabat yang menjemput datang, mereka lalu menanyakan sebab-musabab apa yang membuat arwah baru itu meninggal. Pertanyaan mereka itu harus dijawab oleh Dayuung dengan menyatakan sebab-sebab meninggalnya si arwah yang diantarnya. Jika yang meninggal itu disebabkan karena ia melanggar tabu atau pantangan-pantangan atau aturan-aturan lalu mendatangkan sial dan kematian baginya, maka roh atau arwah kerabat yang menjemput lalu memberikan peringatan-peringatan. Peringatan dan nasihat itulah yang akan dibawa oleh Dayuung pulang dan selanjutnya akan disampaikan untuk kerabat keluarga yang masih hidup di dunia ini. Dikatakan oleh mereka bahwa jika manusia yang masih hidup di dunia ini melanggar segala tabu atau pantangan dan aturan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu, maka ia akan mengalami sial dan kematian. Oleh karena itu sikap hormat dan ketaatan dalam menjalankan hidup sesuai adat dan tradisi nenek moyang perlu dijaga. Dengan demikian manusia mengalami keharmonisan hubungan dengan alam nyata dan dunia roh.
Setelah Dayuung menerangkan perihal sebab kematian to’ yang diantarnya, maka penjemput to’ orang yang mati itu lalu membawanya menyeberang menuju Ujat Tukung Pilung yaitu suatu perkampungan atau lamin kediaman para arwah di Telaang Julaan. Jika yang mati itu adalah keturunan Hipui, maka to’nya akan dijemput dan dibawa oleh to’ Hipui pula menuju ke Lamin kediaman mereka, begitu pula jika yang meninggal itu warga Panyin. Di sanalah roh orang mati yang disebut to’ tinggal selamanya dengan menjalani kehidupan laksana ia masih di dunia ini.
Setelah to’ yang diantarnya menyeberang menuju Ujat Tukung Pilung di Telaang julaan, maka Dayuung pulang kembali ke dunia nyata ini hingga tiba di rumah sanak keluarga yang meninggal tadi. Setibanya di rumah, Dayuung menyampaikan pesan dan nasihat dari leluhur yang telah meninggal kepada warga yang masih hidup sebagaimana yang dikatakan mereka.
Pada hari kesepuluh dihitung sejak penguburan, diadakan adat Mebet Lumu, yaitu upacara adat membuang pantangan adat kematian. Dalam upacara ini dilakukan melas dan Miteng Nyung (kayu gelaq dibuat gambar parang yang akan ditimpas sebanyak 4 buah). Di pating itu ditaruh juga beru, lavuung, kasung dan doh. Setelah ditimpas, dilihat jika potongannya telungkup, maka menandakan akan ada peristiwa kematian lagi, jika ada dua yang telentang maka pertanda baik.
Demikianlah rangkaian adat kematian Bahau Busang yang dahulu sering dilaksanakan, namun sekarang sudah mulai berkurang seiring perkembangan zaman dan pengaruh dari berbagai modernisasi.
3. Pelanggaran adat kematian
Pelanggaran adat kematian misalnya ada orang yang naik pondok sedang diketahuinya bahwa pondok itu adalah milik dari kerabat atau keluarga yang masih berpantang karena ada kematian keluarganya. Orang yang melanggar adat kematian dapat dikenai denda berupa mengganti biaya upacara hari kesepuluh sebesar dua kali lipat. Pelanggaran dan denda itu adalah buleng yaitu karena melanggar adat kematian.
Komentar